Thursday, November 14, 2013

PENDAFTARAN SEKOLAH MENULIS FLP UNAND

klik untuk memperbesar
Terimakasih sudah menaruh hati pada kami. Selanjutnya yang bisa teman-teman lakukan adalah mengikuti cara seperti yang disebutkan pada pamflet di atas.
Isi FORMULIR di bawah ini.

Jika sudah, lanjutkan dengan mengirim SMS Konfirmasi dengan cara ketik:
Nama Lengkap#Fakultas#Angkatan#Motivasi Gabung di FLP

Kirim ke:
082382380585

Nah, selanjutnya tinggal tunggu informasi dari kami.

Keep Writing!

Thursday, March 29, 2012

Semua Orang Bisa Jadi Penulis Hebat

Oleh : Joni Lis Efendi

“Cerita-cerita memiliki kekayaan yang melebihi kenyataannya. Tulisan saya mengetahui lebih banyak daripada saya. Yang harus dilakukan seorang penulis adalah mendengarkan bukunya. Ia akan membawamu ke tempat yang tidak kamu duga.”
Modeleine L’engle
(Penulis novel A Wrinkle in Time)

Siapa saja memiliki peluang sama besarnya dengan J.K. Rowling, Stephen King, John Grisham, Habiburrahman El-Shirazy, Asma Nadia, Budi Dharma, Seno Gumira Ajidarma, Gus TF Sakai, Andrea Hirata, Afifah Afra, dan sebagainya, untuk jadi penulis beken. Nggak butuh rumus nyelimet, teori kusut-masai, harus jadi pengelana bertahun-tahun untuk dapatin segudang pengalaman, kalo cuma pengen menulis sebuah novel hebat atau cerpen yang keren. Karena semuanya sudah ada dalam pikiran kita. Sesuatu yang teramat dekat, bukan?

Perkaranya hanya satu, bisa atau nggak dia nulis apa yang sudah ada dalam batok kepalanya itu menjadi sebuah karya yang memikat. Kamu mungkin pernah membaca novel dari pengalaman hidup penulisnya langsung, seperti novel-novelnya NH Dini, Pipiet Senja, dan yang lagi banyak dibicarakan orang sekarang tetralogi Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata, yang hampir 90 persen adalah pengalaman hidup penulisnya. Karya-karya mereka itu begitu mengagumkan dan penuh pesona yang mampu menggetarkan dada orang-orang yang membacanya. Padahal mereka ini hanyalah orang-orang biasa, bahkan mungkin nggak lebih hebat dari publik figur yang bertitel selebritis yang saban hari kita tongkrongin wajahnya di layar kaca.


Tapi penulis-penulis hebat itu mampu menuliskan perjalanan hidupnya menjadi jalinan cerita yang apik memikat. Novel yang mereka tulis itu terasa lebih hidup, penuh pesona, indah dan terasa lekat dengan diri si pembaca. Inilah nilai lebih kreativitas. Dan, kamu pun bisa melakukan hal yang sama, atau bahkan bisa lebih hebat lagi dari mereka.

Banyak orang yang menyimpan obsesi pengen jadi penulis tersohor (top, beken, nomor wahid se-Indonesia kapan perlu bisa ngalahin J.K. Rowling) setelah melihat betapa enak dan mapannya kehidupan penulis yang karyanya booming. Sayangnya, mereka cuma melihat kulit luarnya saja. Mereka cuma lihat sisi enaknya saja jadi seorang penulis yang terkenal. Tapi malas untuk berdarah-darah mengasah kemampuan menulisnya. Celakanya lagi, mereka menutup mata dan mati-matian membela diri kalo novel merekalah yang terbaik, nggak ada satu pun yang boleh dikoreksi, titik. Tapi nyatanya, novel itu biasa-biasa saja nggak ada nilai lebihnya. Buktinya, belum terbit-terbit juga.

Mereka itu seperti katak dalam tempurung berlumut. Nggak mau jujur, atau mungkin takut, untuk melihat realita yang ada, bahwa nyata-nyatanya karya mereka itu memang masih “jelek”. Mereka juga menulis itu-itu aja dengan gaya yang datar-datar aja; klise, norak, ngebosanin, dan mutar-mutar kayak komedi putar. Singkatnya, mereka bukan penulis yang kreatif, bisanyanya cuma “mengitik” alias mengekor saja karya yang best seller.

Aneh bin nyebalin, mereka nggak mau dikasih saran apalagi dikoreksi. Aduh, bagaimana cara menghadapi orang kayak gini?
Ke laut aja kali ya…

Dalam pikiran penulis-penulis malas plus nggak kreatif itu, nulis ya nulis. Nggak usah capek-capek bikin gaya baru, tema baru, tokoh yang aneh-aneh, biasa-biasa sajalah. Capek, kan kalo bikin novel yang ceritanya aneh-aneh gitu.

Ya, emang harus mau capek kalo pengen jadi penulis beken. Kamu bisa baca bagaimana kegigihan J.K. Rowling memelihara ide besarnya untuk menulis kisah Harry Potter, yang diancang-ancangnya bakal jadi 7 serial, selama lima tahun. Dia nggak buru-buru untuk menulis novelnya, tapi dengan kreatif mencari menulis diskripsi tokoh-tokoh ceritanya dengan begitu detail. Rowling juga mengakui karakter tokoh dalam Harry Potter banyak terilhami dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Yang patut dicontoh, Rowling nggak menulis karakter tokoh ceritanya itu dengan gaya yang biasa-biasa saja. Dia menambahkan ide-ide baru yang menyegarkan, meledak-ledak dan menggairahkan sehingga pembacanya nggak enek membacanya.
Pikiran yang meledak-ledak dan penuh kejutan itulah yang bernama kreativitas. Inilah yang dikatakan Bruner dalam bukunya “Toward a Theory of Instruction”, tentang makna sederhana dari kreativitas sebagai kejutan efektif. Hasil dari olahan kreativitas itu dapat berupa barang, atau gagasan, yang mengejutkan karena berbagai kemungkinan. Misalnya sesuatu yang baru, belum pernah ada, belum pernah terpikirkan, unik, khas, dan lain sebagainya. Sesuatu itu dikatakan efektif karena berbagai kemungkinan pula, misalnya karena bermanfaat, mempermudah kerja, memperindah, dan lain-lain.
Walau sesuatu yang baru itu menganggumkan dan penuh kejutan, tapi jika ditulis bertele-tele juga nggak efektif. Jadinya cuma cerita asing yang sulit dicerna dan bisa bikin muntah.

Kang Abik, panggilan akrab Habiburraham El-Shirazy, yang menulis novel Ayat Ayat Cinta (AAC) sebenarnya bukan menulis tema yang baru, yakni tentang cinta. Coba kamu bongkar lagi koleksi novelmu kebanyakan pasti tentang tema cinta, kan? Lalu, apa kelebihannya?
Dalam AAC, kang Abik nggak terjebak dalam alur cinta picisan yang hambar dan itu-itu saja. Ada yang segar di dalamnya, juga kejutan cerita yang tak terduga. Ditambah lagi dengan kuatnya pesan-pesan moral yang dipertunjukkan oleh karakter tokoh ceritanya. Keindahan Kota Cairo menjadi bingkai cerita yang turut menghadirkan kesan kuat dalam novel ini. Bagi kamu yang sudah membaca novelnya, pasti dapat merasakan sendiri dimana letak kelebihan novel AAC ini.

Lalu, coba kamu bandingkan dengan novel-novel epigon (yang meniru-niru) AAC, adakah sesuatu yang baru di dalamnya? Semuanya serba pengulangan yang membosankan.
Sedangkan novel Laskar Pelangi yang ditulis Andrea Hirata, memunculkan sesuatu yang baru tentang pendidikan, yang sangat sedikit diangkat secara total dalam sebuah karya novel. Walau novel yang bercerita tentang pengalaman kanak-kanak, tapi Andrea Hirata mampu menghadirkan kejutan-kejutan yang tak terduga dalam novelnya. Sehingga novel ini mampu mengalirkan energi positif bagi pembacanya dan memberikan pencerahan yang cukup kuat.

Dikutip dari buku: Writing Donuts: Nulis itu Selezat Donat, karya Joni Lis Efendi

Dari Surau Tempat Min Bersemayam

Cerpen : Fadli Hafizulhaq
            Angin meniupkan kabar bahwa Min si garin surau telah pulang keharibaan Tuhan. Kabar itu marak diperbincangkan warga sekitar sedari tadi pagi, ada wajah-wajah cerah, sedih, datar, rupa-rupa manakala kabar itu menggerayangi telinga. Pemuda itu diperkirakan remuk ditimpa reruntuhan. Maka hari itu juga mereka berbondong-bondong mendatangi surau untuk memastikan kebenarannya.
“Salah kita tak memperhatikan pemuda itu” ujar seorang warga.
“Salah kita tak pernah menghadiri surau ketika lidahnya mengumandangkan adzan” warga lain menimpali.
“Salah kita tak membayar iyuran, padahal anak kemenakan kita mengaji dengannya” warga lain menambahkan.
            Semalam hujan turun deras sekali, angin ribut berpesta pora. Atap rumah bergemuruh, pepohonan meliuk-liuk, satu dua ada yang tumbang. Hujan lebat merendam rumpun-rumpun padi yang baru ditanam. Banjir tak dapat dielakkan.
“Salah kita yang kikir, tak mau berinfak barang sedikit” seseorang kembali bersuara.
“Salah kita yang kufur, tak mau bersyukur, hingga terlalu memilih-milih”
“Salah kita yang tak acuh, tak memperhatikan surau kecil ini hingga rubuh atapnya”
            Gurat-gurat sesal terlukis ditampang warga kampung itu. Sesampainya di surau, mereka mulai bergerak membongkar puing reruntuhan. Puing-puing itu telah membungkam garin surau yang tak pernah bosan mengumandangkan adzan, meski warga kurang mengacuhkan. Yang tidak pernah lelah mengajar anak-anak kampung mengaji, menyorakkan himbauan datang ke surau ketika maghrib menjelang. Besar kemungkinan lelaki yang barangkali menyimpan dendam pada mereka itu terhimpit kaku. Warga mendadak gelisah.
“Cepat bongkar reruntuhan ini!” seorang lelaki berpakaian safari mengeluarkan titah.
            Warga bahu membahu membongkar runtuhan surau kecil itu.
***

            Genap setahun pemuda kerempeng itu mendatangi kampung, namun sampai sekarang tak satu pun yang mengetahui secara pasti asal maupun maksud kedatangannya. Ketika menemui kepala desa waktu pertama kali datang ia hanya berkata ingin lebih meresapi hidup. Ia hanya membawa sekoper pakaian.
            Semula Pak Kades meminta pada warga agar mengasihani pemuda itu untuk sebuah tempat tinggal, namun warga yang mayoritas pesawah itu tak satu pun yang menyatakan sanggup. Hidup kami cukup-cukupan, bukan berkecukupan, mereka berdalih. Alhasil, lelaki itu memutuskan untuk tinggal di surau yang sudah lama tak terurus.
            Konon surau itu sudah lama terlantar. Bangunannya telah keropos, lantainya berlobang, pilar-pilar penyangga yang terbuat dari kayu mulai getas oleh rembesan air yang masuk melalui seng yang bocor.
Dulu pernah ada seseorang pemuda kampung itu tinggal disana, menghabiskan masa-masa penganggurannya dengan berjibaku mengurusi surau tua itu, namun suatu ketika orang itu menghilang entah kemana. Ia pergi tanpa pamit, warga yang mengetahui ihwal kepergiannya berbaik sangka saja, barangkali lelaki itu memutuskan untuk merantau mencoba menjadi da’i kondang sebab pekerja akhirat di kampung susah mendapat tempat.
            Nasib Min dengan orang itu sebelas dua belas, ia jarang makan karena tidak ada pemasukan, ia tidak beroleh uang dari upayanya menjadi penjaga dan pengurus mesjid, iuran para santri pun TPA selalu macet. Ia lantas menawarkan diri untuk bekerja di sawah-sawah warga untuk bertahan hidup, hasil kerjanya yang ‘daripada tidak’ itulah yang ia gunakan untuk makan sehari-hari.
            Semula warga berpikir Min akan pergi sebab mengalah pada keadaan, namun kenyataannya ia mampu bertahan 2 tahun hingga pada akhirnya musibah robohnya surau itu menghentikan periode kebertahanannya. Selama 2 tahun itu ia tetap menjalankan rutinitas itu, seolah tanpa pernah lelah, mengajar mengaji meski semakin hari santri semakin berkurang, menyuarakan adzan meski hari berlalu tak pernah banyak yang datang.
Masalahnya sama sekali bukan Min yang kehadirannya diresahkan, atau ia yang tak pandai bergaul. Min adalah orang yang senang bergaul meski tak pandai. Ia senang mengajak warga berbicara tapi masalahnya selalu tinggi tingkat pembicaraannya, warga yang rata-rata hanya menyelesaikan wajib belajar 9 tahun itu kebingungan dibuatnya. Alhasil pada kemudian hari mereka sudah jera diajak Min berbicara. Lelaki itu juga tak pernah alpa mengikuti kerja bakti sebagai sarana mendekatkan diri. Rupa-rupa upaya telah ia kerahkan, namun malangnya mereka seperti tak dapat disentuh.
***
            Kampung itu telah diguyur hujan lebat disertai badai ganas seminggu lamanya, warga hanya bisa bersembunyi di kediaman masing-masing. Mereka melilih menyeruput teh atau kopi panas, berbincang riang dengan keluarga atau bersembunyi di balik selimut bulu tebal diatas ranjang.
            Hujan yang baru beberapa menit reda turun kembali. Mereka yang sedari tadi sibuk menyingkirkan puing-puing reruntuhan bergegas pergi. Lelaki berpakaian safari itu telah hilang dari pandangan.
“Salah kita yang tak memperhatikan garin itu”
“Salah kita tak menghargainya yang dengan murah hati mendidik anak-kemenakan kita”
“Salah kita ia mati dengan cara seperti ini!”
            Beberapa warga masih bergiat menyingkirkan reruntuhan disaat yang lain sudah pergi. Tampak kegusaran pada wajah-wajah mereka. Hujan turun semakin deras.
“Bagaimana pun harus kita temukan jasad pemuda itu”
“Bagaiamana pun harus kita selenggarakan ia dengan sebaik-baiknya, sebagai permintaan maaf”
“Bagaimana pun ini semua salah kita”
            Hujan turun semakin deras. Badai datang tiba-tiba. Menyadari ketidakmungkinan melanjutkan pekerjaan itu beberapa warga yang tinggal memutuskan bubar. Gurat sesal masih terukir di wajah mereka. Hujan yang terus mengguyur menyamarkan air mata.
***
            Genap seminggu mereka menggali reruntuhan surau itu, semakin hari warga yang bertahan semakin berkurang. Hujan yang turun deras seolah menghambat semua usaha mereka, hingga pada akhirnya warga yang masih bertahan menyingkirkan reruntuhan itu sepakat berhenti. Mereka bergegas ke balai kampung. Reruntuhan surau itu belum setengahnya tersingkirkan. Warga akhirnya sepakat mengadakan pertemuan di balai membincangkan hal itu.
***
            Beruntung cuaca bisa diajak bersahabat, masih mendung-mendung hendak gerimis sehingga beberapa warga dapat menunaikan undangan untuk datang ke balai. Sebagian yang telah datang mulai berbincang-bincang sementara menunggu yang lain. Beberapa menit berlalu, semua elemen masyarakat sudah lengkap, musyawarah hendak dibuka secara formal namun seorang lelaki tiba-tiba angkat bicara.
            “Bukankah salah kita semua ini wahai saudara sekalian?!”
            Suara lelaki itu membersamai gemuruh yang mulai terdengar.
            Seminggu sudah mereka menggali reruntuhan itu, tak peduli hujan dan badai yang menerpa diri, namun apa yang dicari belum tercium keberadaannya. Puing-puing rentuhan itu belum sampai setengahnya tersingkirkan.
            “Celakalah kita! Sudah kita sia-siakan pemuda elok perangai. Tulus ia mengajarkan anak-kemenakan kita mengaji, meski tak di gaji sekalipun ia tak pernah surut, tapi apa yang kita lakukan?”
            “Celakalah kita! Murka Tuhan akan didapat, siksa batin tak dapat dielakkan. Kita merasa punya hati, tapi di dada ini hati itu telah membusuk”
            “Celakalah kita! Sudahlah murka Tuhan didapat, siksa batin tak dapat dielakkan, kita juga telah menelantarkan surau warisan tetua. Kita abai padahal disana pendahulu mempelajari hidup, menelisik kepicikan dunia. Kita lupa bahwa surau itu adalah tempat pembentukan masyarakat”
            Badai mulai mendesing, mereka beristighfar setelah sekian lama alpa dengan kalimat itu. Anggapan bahwa pemuda itu telah berpulang akan menjadi awal derita. Mereka percaya kesialan akan datang oleh ulah mereka itu. Mereka meratap.
            “Barangkali garin itu bukan berpulang, tapi telah meninggalkan kampung kita tanpa kita tahu”
            “Bukankah 2 minggu ini hujan lebat mengguyur, kita saja cuma bisa berdiam diri di rumah, kapan kiranya pemuda itu pergi?”
            Seisi balai mendadak pilu.
***
            Sebab musyawarah itu warga kampung jadi tersadar. Hari-hari yang berlanjut setelahnya sama sekali tidak membenarkan kekhawatiran tentang kesialan yang akan datang. Mereka tak menemukan jasad pemuda itu. Mereka bernapas lega. Sebagian besar dari mereka malah bersujud syukur. Dan lalu mengambil kata sepakat membangun kembali surau tempat Min pernah bersemayam.
            Pembangunan surau itu selesai dengan cepat, kurang dari satu bulan sudah rampung. Tampilannya sungguh jauh berbeda dengan yang lalu, lebih elegan, aman, dan nyaman. Lantai yang dulunya semen kini berganti keramik berkilat. Pilar-pilar beton menyangga loteng. Bahu membahu warga membangun tanpa upah, ketika telah selesai mereka kebingungan karena belum memikirkan siapa yang akan menghuninya.
            Semilir angin siang membawa mereka pada ingatan tentang pemuda kurus itu. Pemuda yang tak pernah bosan mengumandangkan adzan meski terkadang tidak ada jamaahnya. Pemuda yang mampu mengajar mengaji setulus hati tanpa bayaran, yang gigih mendekati warga meski tidak dapat triknya. Mereka malu menyadari bahwa mereka merindui pemuda itu.
            Suatu hari disaat langit begitu cerah, beberapa warga yang masih kebingungan perihal siapa yang menghuni surau berdiri bersama di pekarangan surau. Mereka menatap lekat apa yang telah mereka bangun. Beberapa jenak waktu zuhur masuk, salah seorang dari mereka berinisiatif mengumandangkan adzan dan lalu sembahyang. Lepas sembahyang berjamaah mereka berdoa, semoga pada kemudian hari mereka dapat menggunakan kedua belah mata untuk memandang.
 

(Dimuat di Singgalang, 23 Oktober 2011)

Mamang


Cerpen : Fadli Hafizulhaq
     
          Suli kembali terpekur di tepian pantai sebagaimana yang ia lakukan belakangan ini. Duduk bersila di bawah pohon kelapa, membiarkan angin berhembus membelai rambutnya yang bergelombang laksana ombak. Ia menghirup napas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan-pelan, berusaha membuang gundah yang menjadi sekat berujung sesak di dadanya yang bidang. Kemudian ia melempar pandang pada matahari yang garang dibalik awan yang bergerombolan, pada ambai-ambai yang berjalan mereng, atau pada anak-anak yang bermain lompat tali dengan girang di bawah pohon pinus yang tak jauh dari tempat ia bersila dan tak luput lapau nasi Ni Sari. Semua orang menyibukkan diri, yang duduk bermenung hanya ia seorang, para nelayan tengah bercengkrama di lapau dengan ota mereka yang dinamis. Sesekali terdengar oleh Suli orang-orang itu berdiskusi soal politik, soal ekonomi, soal pasang naik yang membuat mereka tak bisa melaut, atau soal adat istiadat yang makin hari makin pudar. Hendak Suli menggabungkan diri kesana, ikut serta dalam ota lapau yang terdengar mengasyikkan, tapi ia telan saja inginnya itu. Suli tahu bahwa ia akan menjadi bulan-bulanan sindiran. Cukup sudah hal itu terjadi, sudah lelah ia. Sudah lama pula ia menasehati kakak perempuan dan kemenakannya agar menghentikan berbuat hal yang dapat mencemari nama baik kaum mereka, mencoreng nama Suli sebagai seorang mamak, tapi sudahlah dinasehati tidak berhenti jua.

            Suli semakin terpekur, kepalanya serasa ditimpa buah kelapa. Ia bukan kerbau yang tak mengerti bahasa sindiran yang bahkan bisa lebih menyakitkan ketimbang pernyataan langsung. Kampung pesisir boleh jadi kampung yang sunyi, tapi terhadap penyimpangan orang-orang tak akan diam sama sekali. Di kampungnya nuansa adat masih kental terasa, masih banyak golongan tua yang berpegang teguh pada hal itu. Bahkan ada yang lebih memuja pelajaran Budaya Alam Minangkabau ketimbang pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang juga mengajarkan perihal moral dan etika. Sebab itu orang-orang kampung yang mayoritas nelayan itu akan dengan senang hati saling mengingatkan perihal salah atau janggal agar menjadi benar dalam eratnya kebersamaan yang klasik. Namun sebab semua itu pula Suli kini jadi tertekan batin, bukan terhadap orang-orang yang mengingatkan dengan cara menyindir itu melainkan pada kakak dan kemenakannya yang susah dicegah. Sebagai mamak ia merasa telah dilangkahi, tidak dihormati dan dihargai bak anjing menggonggong kafilah berlalu. Ia boleh jadi lebih muda, tapi ia laki-laki, bagaimanapun kedudukan seorang mamak tak pernah terikat usia.
            Suli masih terpekur sambil bersandar lesu pada pohon kelapa di pantai, sementara anak-anak yang bermain di bawah pohon pinus tadi sudah hilang entah kemana. Angin masih memain-mainkan rambut Suli yang bergelombang. Kembali Suli menghirup napas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan-pelan. Ia lalu melirik arloji, masih pukul sebelas. Ia belum ingin beranjak karena istrinya belum pulang mengajar di sebuah sekolah dasar. Ia akan menunggu hingga siang datang sambil merenung dan sesekali menengok ke belakang.
***
            Seorang lelaki bertubuh besar dan berkulit hitam duduk di atas palanta di teras rumah dekat kaca nako yang kusam. Lelaki itu menyeruput kopi hangat yang baru dibuatkan oleh Suli. Lelaki yang Suli panggil Mak Itam itu adalah satu-satunya mamak yang masih bertahan di kampung sebagai seorang nelayan sedangkan mamaknya yang lain telah lama merantau. Sebagai mamak lelaki itu penuh wibawa. Setiap perkataannya selalu dipenuhi petuah yang mengena, sedikit keras namun efektif. Lelaki itu peduli benar dengan setiap kemenakannya. Jika ada perkara yang terjadi terkait kemenakan ia akan tampil pada posisi terdepan. Menengahi, membela atau menghukum. Berusaha bertindak seadil mungkin. Oleh Suli lelaki itu ia jadikan sebagai panutan.
            Tepat pada saat itu Suli tengah berperkara. Perkara yang membuatnya malu tak tanggung. Perkara yang sebenarnya tak pernah disengaja namun ia begitu menyesal akan hal itu. Itu hanya kesalahpahaman tapi orang-orang kampung menilai itu sebuah penyimpangan sebab mereka melihat dengan mata kepala sendiri. Suli tak bisa berbuat apa-apa, ia pasrah sepenuhnya pada Tuhan. Mamaknya tak juga dapat berbuat banyak selain hanya menampung segala macam bisik-bisik orang sekampung lalu menemui Suli untuk dinasehati. Yang tengah terpuruk oleh perkataan orang dan bahkan kakaknya sendiri. Sempat ia menangis karena tak tahan dikatakan sebagai pencemar nama baik kaum.
            Lelaki yang duduk di palanta itu meminta Suli untuk duduk disampingnya. Suli ketakutan meskipun telah ia jelaskan duduk perkara yang sebenarnya.
“Mak Itam percaya dengan apa yang kau ceritakan, tapi untuk memperbaiki pandangan orang-orang memang harus dicari penyelesaian. Penyelesaian yang tuntas bukan yang sementara. Tapi aku tak tahu apakah pihak yang satu lagi menerima. Tapi mencoba terlebih dahulu tidak masalah, bukan?”
            Suli terkejut mendengar perkataan mamaknya itu.
“Tapi…” bantah Suli “awak kan tidak pernah melakukan apa yang dituduhkan. Demi Allah, Mak, semua itu hanya kesalahpahaman semata. Awak belum sanggup, Mak”
            Tapi lelaki itu mengalihkan pembicaraan, tidak menanggapi bantahan kemenakannya itu.
“Semakin lama adat istiadat akan semakin pudar hingga pada akhirnya hilang ditelan masa sebab pengaruh-pengaruh asing yang berdatangan. Suatu hari nanti bisa saja anak tidak hormat pada orang tua dan mamak. Sifat segan dan malu telah hilang dari hati orang-orang hingga saling melangkahi tanpa pandang” tukas Mak Itam panjang.
            Lelaki itu berhenti bicara. Tangannya beranjak menggapai gelas kopi yang masih bersisa sedang Suli menatap ke langit, menerawang.
“Tapi tugas seorang mamak akan selalu sama. Mamak akan terus berkewajiban membimbing kemenakan agar selalu hidup beradat. Jika ada yang tidak beres pada kemenakan mamak harus turun untuk menyelesaikan dengan sebaik-baik penyelesaian. Sebab jika kemenakan tak benar, orang-orang akan beranggapan bahwa mamaknya berlepas tangan. Dan sebab itu lah kutawarkan penyelesaian itu padamu” sambung lelaki itu.
            Suli menekur mendengar perkataan mamaknya itu. Ia kembali teringat perkara yang telah menimpanya dan hampir saja membuatnya gila.
***
            Sebuah undangan datang pada Suli tanpa diduga. Undangan dari sepasang kawan lama satu SMA yang memutuskan menikah muda. Hanya selang tiga tahun setelah tamat dari sekolah menengah. Suli tertawa kecil sebab si calon marapulai dan ia adalah konco arek semasa sekolah dulu. Kini kawannya itu akan menikah terlebih dahulu, Suli ikut bahagia namun sedikit iri. Selepas menerima undangan itu ia tiba-tiba saja teringat seorang teman satu SMA yang sekampung dengannya barangkali juga mendapatkan undangan itu, yang menjadi anak dara adalah sobat karib beliau. Lantas ia mengirim sebuah pesan singkat pada teman perempuannya yang bernama Mila, sebatas menanyakan perihal undangan. Beberapa jenak berselang hingga ponselnya bergetar, buru-buru ia buka pesan balasan, temannya itu mengatakan akan pergi dan meminta Suli untuk pergi bersama. Suli mengiyakan lantaran tahu perempuan itu tidak pandai berkendara dan tempat perhelatan yang lumayan jauh.
            Pada sebuah siang di hari yang tertulis dalam undangan Suli mendatangi rumah Mila. Suli terkejut ketika menemukan perempuan itu tampak kurang sehat, lantas Suli memintanya untuk beristirahat di rumah saja. Hanya saja ia tidak mau dicegah, ia tetap ingin ikut setelah berkata telah mendapat izin. Lagipula mereka tak akan berlama-lama di tempat itu. Namun yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan, saat mereka sampai di tempat perhelatan mereka ditahan oleh kedua mempelai dan teman lain yang juga berdatangan. Mereka bertahan juga sebab segan. Hingga matahari hampir terbenam mereka mendapat alasan untuk pulang, hari sudah hampir malam. Anak dara sempat menahan Mila untuk menginap, tapi perempuan itu berkata ia ada kuliah esok pagi.
            Dan benar sekali kata orang surau, manusia hanya mampu berencana sedangkan Tuhan lah yang mempunyai hak untuk memutuskan. Sepanjang perjalanan pulang Mila yang sudah kelelahan mendadak panas sebab lama tersapu angin. Suli mendadak ketakutan, bukan hanya karena mereka baru bisa pulang ketika hari sudah kelam yang bisa saja mengundang kecurigaan, tapi juga karena Mila yang tiba-tiba tersandar lemas ke punggung Suli. Suli lalu memperlambat laju sepeda motornya, mukanya pucat pasi memikirkan hal-hal yang dapat saja terjadi. Sepanjang  jalan ia teringat orang tua, mamak dan kakaknya yang entah berkata apa jika melihat apa yang terjadi. Ia menyesali dirinya yang tak menahan Mila sebelum berangkat.
            Dan begitulah hal itu terjadi, orang-orang kampung yang melihat mereka mulai berbisik-bisik. Berbisik dimana sempat mereka berkumpul, entah di lapau, di puskesmas atau bahkan di surau sekalipun. Mereka berbisik perihal Suli yang dikatakan melarikan anak gadis orang. Kedua anak muda yang dituduh itu frustasi saat bisik-bisik itu masih terdengar. Sebenarnya itu tidak terlalu menyakitkan bagi Suli, tapi kakaknya terus-terusan menyalahkan ia mencemari nama baik kaum bahkan menuduhnya telah berbuat dosa besar dengan anak gadis tukang heler itu.
            Pada akhirnya kedua belah pihak yang tak bisa berbuat banyak itu memutuskan untuk menikahkan kedua anak muda tersebut. Bukan semata-mata untuk menghapus pandangan buruk orang-orang kampung, namun juga dikarenakan anak gadis pemilik heler itu memang harus ada yang mengikat dan menjaga.
***
            Hari sudah beranjak siang, Suli yang duduk terpekur di bawah pohon kelapa beranjak untuk pulang. Ia ingin menunggu istrinya untuk bercerita, menumpahkan segala gundah yang membuat dadanya sesak. Sehari ini saja, sebab besok ia akan kembali bekerja. Suli lalu mengambil langkah pulang. Sementara itu di lapau nasi Ni Sari orang-orang berbisik-bisik tentang Suli yang gundah itu. “Kemarin kunampak kemenakan si Suli dijemput seorang bujang dengan motor besar. Lari motornya cuma tiga puluhan tapi pagutannya ibarat lari seratusan. Ah, tidakkah si Suli mencegah kemenakannya itu. Padahal anak dipangku, kemenakan dibimbing” ujar salah seorang dan yang lain pun menimpali, “barangkali karena dia belum punya anak maka belum berlaku itu mamang”.***

 (dimuat di Singgalang Minggu, 26 Februari 2012)

Hukum Menulis Cerpen

Sebagai penikmat sastra –dan kadang-kadang iseng menulis karya sastra– pernah terlintas di benak saya bagaimana hukum menulis cerpen (apalagi novel)? Bukankah ada seperti unsur membohongi gitu? Menulis cerpen itu kan mengarang (insya') dan mengarang itu kan mengada-ada –heheh–, apa nggak "ngapusi", membohongi? Kan tokoh-tokohnya, kejadiannya, latar belakangnya, tempat kejadiannya; bias jadi rekaan semua,walau diangkat dari kejadian sehari-hari dengan merubah pelakunya.

Hal ini pernah merisaukan pikiran saya lumayan agak lama, sebelum saya mendiskusikannya dengan beberapa Guru-Guru Besar saya yang masing-masing memberikan jawaban berbeda sesuai dengan wijhah nadhor (sudut pandang) masing-masing, meski inti jawaban adalah sama.

Cerpen, dalam istilah Arab disebut "Riwayah" atau "qisshoh qoshiroh" atau "usthuroh" (tapi kalau ini lebih tepatnya berarti legenda); itu tidak ada hukum yang pasti dalam ilmu fiqih, maksudnya tidak ada bab khusus dalam ilmu fiqih yang membahas tentang itu. Berbeda dengan menggambar –baik 2 dimensi atau 3 dimensi­– yang terdapat dalil syariat sekaligus terjadi berbagai macam ikhtilafu-r Ro’yi (perbedaan pendapat) antar para fuqoha’ (pakar fiqih).

Maka jika melihat pada ketiadaan syariat memberikan hukum jelas terhadap sesuatu, bisa jadi menulis cerpen itu termasuk Mubah; namun karena faktor tertentu, ia bisa jadi juga haram, makruh, atau malah berpahala (begitu pula hukum membacanya) merujuk pada kaidah "al-ashlu fis syai-i al-ibahah ma lam yadullad dalil ala tahrimih"; asal segala sesuatu adalah boleh, selama tak ada indikator pengharaman.

Karena sejak dulu di dunia Arab –yang darinya terlahir empat madzhab itu– cerpen berkembang pesat, mulai "Kalilah wa Dimnah", "Alfu Lailah wa Lailah", "Qeis Majnun Layla" dan sebagainya. Dan tak satupun ulama madzhab yang meributkan apalagi memperselisihkannya. Bahkan sastra Arab sendiri telah jauh berkembang sejak pada masa sebelum Islam. Dan siapapun tahu bahwa cerpen masuk pada bagian ilmu Adab, atau Sastra

Sekedar untuk diketahui juga, Nabi Saw. diutus saat bangsa Arab berada dalam masa keemasan sastra mereka. Makanya Al-Qur’an turun dengan tingkat sastra yang ketinggiannya tidak bisa ditandingi oleh siapapun.

Secara to the point, cerpen itu dalam cara menghukuminya masuk pada kaidah "lil wasa-il hukmul maqashid", tergantung penggunaan. Sederhananya, cerpen adalah hanya sebuah alat, wasilah, atau perantara. Maka bisa jadi ia berpahala kalau mengantarkan pembacanya ingat pada Allah, seperti fiksi-fiksi Islamy. Berdosa bahkan haram seperti novel-novel yang membangkitkan syahwat dan mengarahkan pembacanya pada maksiat. Bisa juga ia tak bernilai pahala atau dosa, seperti cerpen-cerpen yang fungsinya sekedar pelepas lelah, atau cerpen buat anak-anak, fiksi-fiksi fantasi, dan seterusnya.

Lepas daripada itu, bertutur dengan menyelipkan pendidikan, pemikiran, nasehat melalui media ini sebenarnya adalah salah satu uslub syariah (metode syariat). Lihat dalam Al-Qur'an atau Hadits, banyak sekali cerita-cerita bukan? Walau tentu saja kisah nyata.

Oleh karenanya, menulis sebuah cerpen bisa "ada gunanya" setelah memenuhi beberapa kriteria, apalagi kita adalah seorang muslim yang dituntut tidak boleh membuang waktu terhambur begitu saja. Semisal menulisnya untuk tujuan dakwah, dengan menyisipkan nilai-nilai agama di dalamnya, mengembangkan kreativitas dan daya imajinasi, tidak mengganggu kewajiban, tidak ada unsur sengaja membohongi, membuat fitnah, memprovokasi, menjatuhkan nama baik, dan seterusnya.

Memukul rata bahwa membuat cerpen adalah "ngapusi", maka jadinya haram; adalah tentu tidak tepat. Sebab semua tahu bahwa cerpen adalah sastra, adab, dan dari dulu, tak ada satupun ulama yang meributkan adab. Apalagi sampai membid'ahkan dengan alasan tak ada di zaman Nabi. Kentara jika kurang memahami sejarah dan Uslub Qur’ani itu sendiri.

Alhasil, cerpen itu tergantung niat penulisnya, bisa jadi ia mubah, makruh, haram, sunnah, bahkan wajib. Bisa jadi ia berpahala, tak bernilai apa-apa, bahkan berdosa; semua kembali ke masing-masing penulis dan apa tujuannya.

Akhirnya, yang terpenting adalah niat, tak hanya cerpen, semua jenis dan model tulisan pun begitu, sebab ia adalah hanya sarana saja. Ya seperti makan, minum itu; asalnya kan mubah, bisa jadi bernilai ibadah kalau kita niatkan untuk suplemen biar giat sholat, atau malah dosa kalau diniatikan biar semangat saat hendak melakukan dosa. So, innamal a'malu binniyyah. Wallahu a'lam :) (*)

Penulis Awy Ameer Qolawun. FLP Arab Saudi.

[sumber]

Sejarah Berdirinya Forum Lingkar Pena (FLP)

Apakah Forum Lingkar Pena itu? Sebuah 'Pabrik Penulis Cerita' (Koran Tempo)

Forum Lingkar Pena sangat fenomenal. FLP adalah hadiah Tuhan untuk Indonesia (Taufiq Ismail)

Dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya, jumlah penulis di Indonesia—sebagaimana jumlah pertumbuhan penduduknya--sangat besar. Pada dekade terakhir Indonesia diramaikan oleh munculnya penulis muda berusia di bawah 30 tahun serta maraknya pertumbuhan kantong-kantong sastra di Jakarta dan di banyak kota besar lainnya.

Salah satu yang dianggap fenomenal adalah munculnya Forum Lingkar Pena (FLP), tahun 1997. Dalam waktu yang relatif singkat, organisasi yang memiliki cabang di hampir 30 propinsi dan di mancanegara ini telah beranggotakan sekitar 5000 orang, hampir 70% anggotanya adalah perempuan. Dari jumlah ini, 500 diantaranya menulis secara aktif di berbagai media. 500 orang ini berusaha membina 4500 anggota FLP lainnya untuk menjadi penulis pula.

Selama hampir delapan tahun keberadaannya, organisasi penulis ini telah menerbitkan lebih dari 400 buku yang sebagian besar terdiri dari karya sastra serius, fiksi remaja dan cerita anak. Tidak ada orang atau lembaga yang mensponsori FLP. Kemandirian ini memungkinkan FLP menulis sesuai kata hati. Koran Tempo, salah satu media paling berwibawa di Indonesia, menyebut FLP sebagai sebuah ‘Pabrik Penulis Cerita’!

Sejarah Berdirinya FLP

Tahun 1997 Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Muthmainnah serta beberapa teman dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia bertemu di Masjid Ukhuwah Islamiyah, Universitas Indonesia. Pertemuan berlanjut dengan diskusi tentang minat membaca dan menulis di kalangan para remaja Indonesia. Percakapan tersebut sampai pada kenyataan semakin mendesaknya kebutuhan masyarakat akan bacaan yang bermutu. Di sisi lain sebenarnya cukup banyak anak muda yang mau berkiprah di bidang penulisan, tetapi potensi mereka kerap tak tersalurkan atau intensitas menulis masih rendah, di antaranya karena tiadanya pembinaan untuk peningkatan kualitas tulisan. Lebih dari itu, semua yang hadir menyadari betapa efektifnya menyampaikan gagasan melalui tulisan.

Akhirnya yang hadir sepakat untuk membentuk organisasi penulis. Maka pada tanggal 22 Februari 1997 berdirilah Forum Lingkar Pena, sebagai badan otonom Yayasan Prima , dan Helvy Tiana Rosa terpilih sebagai Ketua Umum. Saat itu anggotanya tak lebih dari 30 orang saja. Kami pun mengadakan acara rutin pekanan dan bulanan berkaitan tentang penulisan untuk anggota, dengan mengundang pakar di bidang tersebut. Kami mengadakan bengkel penulisan secara kecil-kecilan dan merekrut anggota baru.

Tahun 1998, seorang penulis muda dari Kalimantan Timur: Muthi Masfufah, mendirikan FLP Wilayah Kalimantan Timur yang berpusat di Bontang serta cabangnya di Samarinda, Balik Papan, Tenggarong dan kemudian Sangata. Inilah kepengurusan wilayah pertama dalam sejarah FLP. Pada tahun 1999, mulai banyak permintaan dari daerah, untuk membentuk kepengurusan FLP di tiap propinsi.

Majalah Annida—sebuah majalah fiksi Islami bertiras hampir seratus ribu eksemplar perbulan, menjadi salah satu sarana bagi munculnya karya-karya anggota FLP. Majalah tersebut juga membuat rubrik khusus berisi info FLP dan menjadi sarana merekrut anggota baru. Yang mengejutkan, lebih dari 2000 orang mendaftar menjadi anggota melalui Annida. Ditambah lagi, sampai tahun 2003, berdasarkan masukan dari tiap wilayah, tak kurang dari 3000 orang telah mendaftarkan diri pula melalui berbagai acara yang digelar oleh perwakilan-perwakilan FLP di seluruh Indonesia dan mancanegara.

Dari jumlah itu, sekitar 500 adalah penulis aktif. Mereka tinggal di lebih dari 100 kota di Indonesia. Banyak di antara mereka meraih penghargaan dalam berbagai lomba penulisan tingkat propinsi, nasional bahkan internasional. Sekitar 75% penulis majalah Annida, bergabung dalam FLP. Lalu ada pula sekitar 200 pengelola dan penulis buletin atau media kampus. Kebanyakan anggota FLP adalah pelajar dan mahasiswa. Ada juga pegawai negeri, karyawan swasta, buruh, ibu rumah tangga, guru, petani, dan lain-lain.

FLP adalah organisasi inklusif. Keanggotaannya terbuka bagi siapa saja tanpa memandang ras maupun agama. Mayoritas anggota FLP memang muslim, namun tingkat pemahaman keislaman mereka tidak seragam. Banyak pula non muslim yang bergabung. Meski demikian para anggota FLP memiliki niat yang sama: membagi seberkas cahaya bagi para pembaca dan menganggap kegiatan menulis adalah bagian dari ibadah.

Anggota FLP termuda saat ini berusia 4 tahun dan tertua 69 tahun. "Muda" dalam FLP lebih ditekankan pada aspek semangat, bukan usia, meski kebanyakan anggota FLP memang berusia sekitar 15-25 tahun. Namun sejak awal tahun 2004, beberapa FLP wilayah, sebut saja DKI, Jawa Barat dan Kaltim membuka khusus “FLP Kids” untuk anak berusia 6-12 tahun.

Banyak penulis muda dan calon penulis yang kemudian menjadi pengurus FLP di tingkat propinsi pada masa awal Sementara di daerah-daerah yang belum ada kepengurusan, selalu terdapat koresponden FLP.

Hampir berbarengan dengan itu teman-teman yang tengah melanjutkan pendidikan atau tinggal di luar negeri banyak pula yang bersedia untuk membuka kepengurusan FLP atau paling tidak menjadi koresponden FLP di negara tersebut seperti Muthmainnah (Inggris), A Rifanti (Amerika Serikat), Hadi Susanto (Belanda), Ikhwan Arifin (Sudan), Ummu Itqon (Canada), Ali Ghozali (Sudan), Femina Sagita (Jepang), Sera Revalina (Singapura), Ahmad Muhajir (Korea), Lulu Naning (Pakistan), dan banyak lagi yang lainnya (masih dalam tahap konsolidasi). Habiburahman Saerozy dan Fera Andriani Jakfar (Mesir) bahkan membentuk kepengurusan FLP Mesir dan sering bekerja sama dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Organisasi Satuan (istilah lain untuk cabang –penulis) Mesir. Yang lebih mengharukan, para TKW Indonesia di Hongkong, mendirikan pula FLP Hongkong, 16 Februari 2004 lalu. Hampir semua anggotanya adalah pembantu rumah tangga, kecuali beberapa orang saja. Kini mereka tengah mempersiapkan antologi cerpen bersama yang mengangkat persoalan buruh migran perempuan.

Visi, Misi dan Program Kerja

Visi FLP adalah membangun Indonesia cinta membaca dan menulis serta membangun jaringan penulis berkualitas di Indonesia. FLP sepakat untuk menjadikan menulis sebagai salah satu proses pencerahan ummat.

Misi FLP di antaranya:
1. Menjadi wadah bagi penulis dan calon penulis
2. Meningkatkan mutu dan produktivitas (tulisan) para anggotanya sebagai sumbangsih berarti bagi masyarakat
3. Turut meningkatkan budaya membaca dan menulis, terutama bagi kaum muda Indonesia
4. Menjadi organisasi yang selalu memunculkan penulis baru dari daerah di seluruh Indonesia.

Mengapa Kamu Harus Menulis?


Saat anda membaca pertanyaan diatas, pastinya anda memiliki jawaban masing-masing. Barang kali anda sebagai penulis buku best seller jika tidak menulis tidak akan mendapat uang, atau anda sebagai penulis lepas (free lance) jika tidak produktif menulis maka pendapatannyapun akan sedikit. Anda sendiri yang sedang belajar dan memulai menulis untuk terus memperlancar atau memperbaiki kualitas tulisan anda. Dan pastinya ada jugakan yang tiada hari tanpa menulis di buku diary untuk mencurahkan isi hatinya, sehingga kita menganggap bahwa menulis itu penting. Ya, saya tegaskan menulis itu penting bahkan kini menjadi kebutuhan.
Sekedar berbagi dibawah ini diantaranya alasan-alasan mengapa kita perlu menulis:
1. 1. Agar dapat menelusuri jejak pendahulu
Apalah jadinya jika orang-orang terdahulu tidak mau menulis ide-ide atau gagasan-gagasan cemerlangnya? Apalah jadinya jika mereka hanya piawai dalam berpidato, ceramah meskipun isinya sangat menggugah, memotivasai atau inspiratif jika mereka tidak menuliskannya?
Benarlah kiranya, banyak peradaban ini berkembang karena tulisan, bukan omongan. Bayangkan seandainya Soekarno, Gusdur, Nurkholis Majid, Amin Rais dan tokoh-tokoh lain hanya bisa ngomong. Apakah mungkin kita bisa menelusuri pemikiran dan gagasan mereka? Dalam perspektif antropologi, ternyata penggunaan bahasa tulis berbanding lurus dengan tingkat peradaban suatu masyarakat. Artinya, semakin intensif suatu masyarakat mengungkapkan gagasannya secara tertulis, semakin tinggi pula tingkat peradaban merkea. (M. Mufti Mubarok : 2011).
“Buku adalah pengusung peradaban. Tanpa buku, sejarah menjadi sunyi, sastra menjadi bisu, ilmu pengetahuan lumpuh, serta pikiran dan spekulasi mandek.” (Barbara Tuchman).
“…Membaca buku yang baik itu bagaikan mengadakan percakapan dengan cendekiawan yang paling cemerlang dari masa lampau-yakni para penulis itu. Ini semua bahka merupakan percakapan berbobot lantaran dalam buku-buku itu merkea menuangkan gagasan-gagasan merka yag terbaik semata-mata..”(Rene Descartes).
Meskipun saat ini teknologi semakin canggih hingga suatu berita atau peristiwa dengan cepat bisa tersaji, seperti Televisi, radio dan alat elektronik lainnya. Tetapi tetap saja sebuah tulisan atau teks menjai kebutuhan, sehingga media cetak misalnya masih laku dibeli oleh banyak orang. karena tulisannya dapat ditelusuri dengan mudah jika sewaktu-waktu dicari atau dibutuhkan untuk dijadikan sebagai kutipan atau bahan referensi. Dan hal itu diantaranya berkat para jurnalis yang rajin menulis dan menyajikan berita/fakta secara tertulis.

2. 2. Agar dapat mengikat ilmu
Ali Bin Abi Thalib pernah berujar “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.” Jelaslah dari kata sayyidina Ali tersebut bahwa salah satu cara untuk menghimpun ilmu adalah dengan menuliskannya atau mencatatnya. Seperti penggembala kambing agar tidak kehilangan kambingnya maka harus mengikatnya dengan tambang. Tetapi jika melihat fenomena saat ini pelajar misalnya, sangat jarang menulis atau mencatat, karena sekarang sudah jamannya teknologi. Guru dalam menyampaikan materinya tinggal menyalakan infokus dan para siswa langsung menikmati dan melihat infokus. Katanya supaya kegiatan belajar mengajar menjadi efektif dan efisien padahal jika para siswa tidak mau menulis akan bahaya juga. Nanti tidak aka ada bahan yang bisa dibaca/dipelajari saat dirumah atau di luar sekolah. Jika seseorang mencintai ilmu maka salah satu upaya yang harus dilakukannya adalah membaca dan menuliskannya.
Sejarah telah membuktikan, bahwa ulama tempo dulu seperti Syekh Nawawi Tanara telah membuktikan kepiawaiannya dalam memajukan dan mengembangkan dunia pendidikan. Dia seorang ulama besar sekaligus guru. Namun beliau telah banyak mencetak (meluluskan) ulama besar, seperti KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, Sykeh Asnawi Caringin dan ulama-ulama besar lainnya yang tak dapat disebutkan. Dan disela-sela kesibukannya Syekh Nawawi sangat produktif mengarang kitab-kitab dan tulisan-tulisan yang dapat dijadikan rujukan bagi para pelajar. Meskipun saat ini kita tidak bisa melihat wajahnya tetapi kita tetap bisa mempelajari ilmu darinya karena dimasa hidupnya pernah mengarang atau menuliskannya dalam bentuk kitab. (Bang Mukti El-bantany, Kabar Banten: 07 Maret 2011). Salah satu contoh lagi jika kita melihat riwayat Imam Bukhori (salah satu periwayat hadis shahih) sejak kecil, terilhami menghafal hadis ketika berumur 10 tahun dan mempunyai daya ingat yang luar biasa. Walaupun mendapat julukan Amirul Mukminin fil hadits, beliau juga menguasai ilmu tafsir, fikih, dan tarikh dengan baik. Taukah anda bahwa kitab “Shahih Bukhari” yang berisikan 7275 hadis shahih adalah ditulis selama 16 tahun setelah menyusuri 7 negara, 80.000 perawi dan mengumpulkan 200.000 hadits yang dihafalnya. Andaikan Imam Bukhari dulu tidak menulis hadits-hadits yang telah dihapalnya, maka kita tidak akan pernah mendengar sebuah buku yang bernama kitab ”Shahih Bukhari”.
Sa’ad bin Jubair pernah berkata: “Dalam kuliah-kuliah Ibnu Abbas, aku biasa mencatat dilembaran. Bila telah penuh, aku menuliskannya di kulit sepatuku, dan kemudian ditangannku. Ayahku sering bertkata: Hafalkanlah, tetapi terutama sekali tuliskanlah. Bila telah sampai di rumah, tuliskanlah. Dan jika kau memerlukan atau kau tak ingat lagi, bukumu akan membantumu.”

3. 3. Memanfaatkan peluang
Era reformasi membawa perubahan terhadap perkembangan media masa (media cetak, media elektronik, dan media online). Perkembangan ini memberikan ruang gerak kepada para wartawan dan penulis. Tumbuh dan berkembangnya media massa tidak hanya memberikan ruang yang luas kepada wartawan, tetapi juga menjadi ladang emas bagi penulis lepas (free lance). Sebuah kerugian besar jika kesempatan ini tidak dimanfaatkan. Apalagi ketika penghargaan terhadap penulis kian besar dan membuat penulis menjadi terkenal. (Waitlem: 2007).
Oleh karenanya bolehlah kita menikmati dan menanti tulisan-tulisan para pengarang terkenal di koran-koran, buku-buku, atau majalah langganan kita. Tetapi sekali-kali kita jangan terus menjadi pembaca, melainkan harus menjadi penulis. Jika menjadi penulis disamping mendapat uang kita juga telah menyumbangkan berbagai ide atau gagasan bahkan renungan kita yang kiranya akan bermanfaat bagi orang lain baik untuk saat ini maupun dimasa yang akan datang.


4. 4. Karna menulis juga menjadi obat
Pada tahun 1986 James W. Pennebaker dan reakannya Sandra Beall melakukan riset tentang hubungan antara kegiatan menulis dan kesehatan. Dalam riset tersebut disimpulkan bahwa seseorang yang sering menulis lebih jarang sakit. Dengan menulis seseorang akan lebih tenang dan kegelisahan bisa terendam. Akibatnya, energi yang sedianya digunakan untuk merendam kegelisahan bisa terkumpul untuk membangun sistem kekebalan tubuh. Pennebaker juga menyimpulkan bahwa menulis rutin setiap hari selama 15-30 menit dengan gaya narasi, mampu membuat kondisi tubuh dan pikiran menjadi lebih sehat. Dari berbagai uji coba, terapi ini mampu menyembuhkan banyak orang dengan berbagai jenis penyakit, dari stres, trauma, sampai penyakit yang lebih berat seperti kanker. (Majalah Ummi spessial April-Juli 2011).
Jadi meskipun tulisan kita tidak dipublikasikan atau tidak berdampak yang berarti bagi orang lain setidaknya akan sangat bermanfaat bagi diri kita khususnya kondisi tubuh kita agar tetap sehat.
Maka tidak heran jika sebuah penerbit majalah “Tarbawi” sampai mengadakan sekolah menulis kearifan, karena menulis lebih dari persoalan teknis, menulis adalah kerja filosofis. Lebih dari upaya merangkai fakta, menulis adalah ikhtiar menemukan dan mengikat makna. Lebih dari membagi gagasan dan menulis adalah menuangkan renungan dan penghayatan.
Diakhir tulisan ini saya ingin menyampaikan bahwa banyak orang yang memimpikan menjadi penulis ya termasuk saya, meskipun beribu-ribu buku teori menulis telah di baca, pasti impiannya tidak akan terwujud. Kenapa, karena menulis tidak akan bisa dipelajari akan tetapi harus dipraktekkan. Dalam sebuah buku yang dikarang oleh Gol A Gong bahwa ada 3 kunci agar seseorang bisa menulis yaitu, pertama menulis, kemudian menulis dan menulis. Jadi jangan buang-buang waktu dan selalu sibuk bertanya bagaimana cara menulis, apalagi bertanya mengapa kita perlu menulis. JK Rowling pernah berkata “Mulailah dengan menuliskan hal-hal yang kau ketahui. Tulislah tentang pengalaman dan perasaanmu sendiri. Itulah yang saya lakukan.”
Anda tidak akan bisa belajar menulis/mengarang dengan membaca buku ini. Sebab buku ini adalah buku tentang menulis/mengarang . Artinya, dengan membaca buku ini anda baru belajar tentang dan sama sekali belum belajar menulsi/mengarang. Menulis/mengarang adalah praktek, sehingga dengan melakukannya anda bisa. Dalam sebuah buku (Andrias Harefa :2002).

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More